POTRET PERTUMBUHAN DAN DISPARITAS IPM KABUPATEN DAN KOTA DI INDONESIA 2010-2020

IPM di wilayah kabupaten dan kota selalu naik dari tahun ke tahun. Akan tetapi, laju pertumbuhan IPM tidak dibarengi dengan penurunan disparitas IPM. Pertumbuhan IPM 2019-2020 merupakan outlier karena pandemi Covid-19. 

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk memotret pencapaian pembangunan manusia di suatu wilayah. IPM dibentuk dari tiga dimensi, yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak. 

Dimensi umur panjang dan hidup sehat diwakili dengan indikator umur harapan hidup saat lahir (UHH). Dimensi pengetahuan diwakili dengan indikator harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Sedangkan, dimensi standar hidup layak diwakili dengan indikator pengeluaran riil per kapita (PNB per kapita). 

Setiap indikator IPM dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan kualitas hidup manusia di suatu wilayah, baik dari dimensi hidup sehat, pengetahuan, maupun standar hidup layak. 

Secara umum, IPM Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, pertumbuhan IPM di berbagai wilayah di Indonesia tidak dibarengi dengan penurunan disparitas IPM. Pada 2019-2020, pertumbuhan IPM Indonesia mengalami penurunan. Wilayah mana saja yang paling turun? 

IPM Indonesia 2020 
Pada tahun 2020, kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan, sedangkan pengeluaran per kapita yang disesuaikan mengalami penurunan. 

IPM Indonesia Indonesia pada tahun 2020 mencapai 71,94, naik tipis 0,02 poin dari tahun sebelumnya sebesar 71,92. Kenaikan tipis tersebut merupakan hal yang tidak biasa mengingat IPM Indonesia dalam 10 tahun terakhir biasanya meningkat rata-rata 0,6 poin per tahun. BPS menyebutkan bahwa perlambatan pertumbuhan IPM pada tahun 2020 disebabkan oleh pandemi Covid-19 serta penurunan indikator rata-rata pengeluaran per kapita yang disesuaikan. 

Rata-rata pengeluaran per kapita menjadi satu-satunya indikator penyusun IPM yang turun pada tahun 2020, dari 11,30 juta rupiah pada tahun 2019 menjadi 11,01 juta rupiah pada tahun 2020. 

Dari sisi pendidikan, indikator harapan lama sekolah (HLS) anak berusia 7 tahun ke atas naik menjadi 12,98 tahun pada tahun 2020 dari sebelumnya 12,95 tahun (2019). Sedangkan, indikator rata-rata lama sekolah (RLS) yang diselesaikan oleh mereka yang sudah berusia 25 tahun ke atas meningkat 0,14 tahun, menjadi 8,48 tahun pada 2020 dari sebelumnya 8,34 tahun pada 2019. 

Dari dimensi kesehatan, umur harapan hidup (UHH) bayi yang lahir pada tahun 2020 diperkirakan hingga 71,47 tahun, meningkat 0,13 tahun dari UUH 2019 sebesar 71,34 tahun. 



IPM Indonesia 2010-2020 
Dari tahun ke tahun, nilai IPM Indonesia selalu naik dengan rata-rata pertumbuhan 0,79 persen per tahun sepanjang 2010-2020. Dalam kurun waktu yang sama, IPM Indonesia berhasil tumbuh 8,13 persen, dari 66,53 pada 2010 menjadi 71,94 pada tahun 2020. 

Kenaikan IPM Indonesia 2010-2020 didorong oleh kenaikan tiap dimensi pembentuk IPM yang diwakili oleh indikator HLS, RLS, UHH, serta rata-rata pengeluaran per kapita yang disesuaikan (PPK).

Dari dimensi pendidikan, sepanjang periode 2010-2020, terjadi kenaikan harapan lama sekolah (HLS) anak berusia tujuh tahun di Indonesia sebesar 1,69 tahun, dari 11,29 tahun (2010) menjadi 12,35 tahun (2020), dengan rata-rata kenaikan 0,17 tahun per tahun. Dengan kata lain, terjadi pertumbuhan HLS sebesar 14,97 persen dalam periode tersebut. 

Dari indikator pendidikan lain, terjadi kenaikan 1,02 tahun rata-rata lama sekolah (RLS) yang diselesaikan penduduk usia 25 tahun ke atas sepanjang 2010-2020. Pada tahun 2020, RLS Indonesia adalah 8,48 tahun, naik 1,02 tahun dari tahun 2010 sebesar 7,46 tahun. Dengan kata lain, terjadi pertumbuhan RLS sebesar 13,67 persen dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 1,29 persen sepanjang 2010-2020. 

Dari dimensi pendidikan, umur harapan hidup (UHH) bayi yang lahir naik dari 69,81 pada 2010 menjadi 70,71 pada 2020. Dengan demikian, terjadi pertumbuhan UHH sebesar 1,66 tahun atau 2,38 persen sepanjang 2010-2020. Pada periode tersebut, rata-rata pertumbuhan sebesar 0,17 tahun per tahun atau 0,24 persen per tahun. 

Dari sisi pengeluaran, terjadi peningkatan indikator rata-rata pengeluaran per kapita (PPK) yang disesuaikan sebesar 1,6 juta rupiah atau sebesar 16,7 persen dalam periode 2010-2020. Pada tahun 2010, PPK Indonesia sebesar 9,3 juta rupiah per tahun kemudian naik menjadi 11,01 juta rupiah per tahun pada tahun 2020. Dengan demikian terjadi rata-rata pertumbuhan sebesar 157,6 ribu rupiah per tahun atau tumbuh rata-rata 1,57 persen per tahun.
Kenaikan IPM Indonesia didorong oleh kenaikan IPM wilayah kabupaten dan kota yang setiap tahun juga naik. Dibandingkan dengan IPM Indonesia, rata-rata IPM wilayah kota selalu lebih tinggi. Sebaliknya, dari tahun ke tahun, rata-rata IPM wilayah kabupaten lebih rendah dibandingkan dengan IPM Indonesia. Secara rata-rata tahunan, nilai IPM wilayah kota selalu lebih tinggi dibandingkan dengan IPM wilayah kabupaten. Hal tersebut menunjukkan bahwa akses warga masyarakat kota terhadap kebijakan pembangunan manusia lebih besar dibandingkan dengan warga masyarakat kabupaten di Indonesia.
    
Situasi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan pembangunan manusia antara masyarakat yang tinggal di kota dan di kabupaten. Masyarakat yang tinggal di kota lebih mendapatkan akses pada pembangunan dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah kabupaten. 

Pada tahun 2010 misalkan, terdapat wilayah kota dengan nilai IPM 82,72 dan di saat bersamaan terdapat wilayah kabupaten dengan nilai IPM 19,62. Artinya, terjadi disparitas IPM antarwilayah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 63,1 pada tahun 2010. 

Disparitas IPM antarwilayah kabupaten dan kota pada tahun 2010 tersebut turun menjadi 55,06 pada tahun 2010. Dengan kata lain, sepanjang 2010-2020, terjadi penurunan disparitas IPM antarwilayah kabupaten-kota sebesar 8,04 atau sebesar 12,74 persen. Sepanjang 2010-2020, terjadi rata-rata penurunan disparitas sebesar 1,35 persen per tahun. 

Disparitas IPM juga dapat dilihat di antara wilayah kota maupun di antara wilayah kabupaten di Indonesia. Secara umum, disparitas IPM antarkabupaten di Indonesia lebih tinggi dibandingkan disparitas IPM antarkota. Dengan kata lain, pencapaian IPM antarkota di Indonesia cenderung lebih merata dibandingkan antarkabupaten. 

Pada tahun 2010 misalnya, disparitas IPM antarkota di Indonesia sebesar 23,75, dengan IPM kota tertinggi 82,72 dan IPM kota terendah 58,97. Sedangkan, disparitas IPM antarkabupaten pada tahun tersebut sebesar 60,07, dengan IPM kabupaten tertinggi 79,69 dan IPM kabupaten terendah 60,07. 

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2020, disparitas IPM antarkota di Indonesia sebesar 21,63, dengan IPM kota tertinggi 86,61 dan IPM kota terendah 64,93. Sedangkan, disparitas antarkabupaten di Indonesia sebesar 52,29, dengan IPM kabupaten tertinggi 83,84 dan IPM kabupaten terendah 31,55. 

Meskipun disparitas IPM antarkabupaten di Indonesia lebih tinggi dibandingkan antarkota, penurunan disparitas IPM antarkabupaten lebih tinggi dalam 10 tahun terakhir. Sepanjang 2010-2020, wilayah kabupaten berhasil menurunkan disparitasnya sebesar 7,78 poin atau 12,95 persen, dari 60,07 (2010) menjadi 52,29 (2020). Sedangkan, penurunan disparitas wilayah kota sebesar 2,07 poin atau sebesar 8,72 persen, dari 23,75 (2010) menjadi 21,68 (2020). 

Hal tersebut menunjukkan persaingan di antara wilayah kabupaten untuk terus tumbuh dan meningkatkan pembangunan manusia di wilayahnya.

Korelasi
Penurunan disparitas IPM dari tahun ke tahun di wilayah kabupaten-kota dapat dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata IPM di wilayah yang sama. Dengan menggunakan koefisien korelasi, dapat dibandingkan pertumbuhan rata-rata IPM di wilayah kabupaten, kota, serta kabupaten-kota dengan penurunan disparitas IPM di wilayah tersebut.

 
Pertama di wilayah kabupaten-kota secara bersama-sama. Grafik scaters korelasi menunjukkan persebaran acak yang tak berpola. Perbandingan pertumbuhan rata-rata IPM 2010-2020 di wilayah kabupaten-kota dengan penurunan disparitas di wilayah kabupaten dan kota menghasilkan korelasi negatif, yakni -0,1. Hal itu berarti bahwa pertumbuhan rata-rata IPM di wilayah kabupaten-kota di Indonesia cenderung berbanding terbalik dengan penurunan disparitas di wilayah tersebut. Semakin tinggi pertumbuhan rata-rata IPM wilayah kabupaten-kota, penurunan disparitas cenderung semakin rendah (disparitas cenderung makin besar).

Situasi hampir mirip ditampilkan di wilayah kota. Grafik scaters korelasi menunjukkan persebaran acak yang tak berpola. Perbandingan pertumbuhan rata-rata IPM wilayah kota dengan penurunan disparitas IPM antarkota menghasilkan korelasi negatif -0,61. Hal itu berarti bahwa semakin tinggi pertumbuhan rata-rata IPM di wilayah kota, semakin rendah pula penurunan disparitas (disparitas makin besar).

Situasi berbeda tampak di wilayah kabupaten meskipun grafik scaters korelasi juga menunjukkan persebaran acak yang tak berpola. Perbandingan pertumbuhan rata-rata IPM dengan penurunan disparitas IPM menghasilkan korelasi mendekati nol, yakni 0,0003, yang berarti tidak ada hubungan linear kedua hal tersebut.

Analisis korelasi di atas menunjukkan perbedaan hubungan pertumbuhan rata-rata IPM dan penurunan disparitas IPM di wilayah kabupaten dan kota. Situasi yang diharapkan adalah bahwa semakin tinggi pertumbuhan IPM, semakin tinggi pula penurunan disparitas antarwilayah. Akan tetapi, baik di wilayah kabupaten, kota, maupun kabupaten-kota, pertumbuhan rata-rata IPM belum berbanding lurus dengan penurunan disparitas. Artinya, meskipun IPM kabupaten dan kota di Indonesia semakin lama semakin naik, hal itu tidak dibarengi dengan pertumbuhan yang merata (disparitas malah cenderung membesar). 

Hal yang menarik, ketiga grafik korelasi di atas menunjukkan adanya outlier, yakni pada periode 2019-2020. Hubungan pertumbuhan rata-rata IPM dan penurunan disparitas IPM periode tersebut terpisah dari periode lain. Situasi khas ini menunjukkan adanya data ekstrem yang dihasilkan dari situasi yang tidak normal. Dalam hal ini, situasi tidak normal pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020 dapat dijadikan penjelasan. 

Oleh karena itu, akan dilihat secara khusus pertumbuhan IPM pada 2019-2020 dan perbandingannya dengan pertumbuhan rata-rata IPM tahunan 2010-2019. 

Penurunan Pertumbuhan 
Meskipun nilai IPM naik, pertumbuhan tahunan IPM Indonesia pada 2019-2020 mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan rata-rata pertumbuhan tahunan 10 tahun terakhir. 

Sepanjang 2010-2019, rata-rata pertumbuhan IPM Indonesia adalah 0,87 persen per tahun. Pertumbuhan tersebut turun menjadi “hanya” 0,03 persen pada 2019-2020. Terdapat rentang penurunan pertumbuhan sebesar -0,84 persen. 

Penurunan pertumbuhan juga terjadi di hampir semua indikator penyusun IPM, yakni HLS, UHH, maupun PKK. Dari ketiga indikator tersebut, indikator pengeluaran per kapita (PPK), mengalami rentang penurunan pertumbuhan terbesar, yakni -4,56 persen. 

Satu-satunya indikator IPM yang tidak mengalami penurunan pertumbuhan adalah RLS. Sepanjang 2010-2019, rata-rata pertumbuhan RLS Indonesia adalah 1,25 persen per tahun. Sedangkan, pertumbuhan RLS Indonesia pada 2019-2020 sebesar 0,43 persen. Terdapat rentang kenaikan pertumbuhan sebesar 0,43 persen.

 
Peringkat pertumbuhan IPM Kabupaten dan Kota Sebelum pandemi 
Dengan asumsi bahwa pandemi merupakan faktor yang menurunkan IPM, dapat dilihat berbagai daerah yang sebelum pandemi menunjukkan performa pertumbuhan yang positif. Periode sebelum pandemi yang digunakan adalah 2015-2019 untuk menunjukkan kesamaan periode tahun keberadaan tiap kabupaten dan kota di Indonesia. 

Sebelum pandemi, kabupaten yang mencatatkan rata-rata pertumbuhan tahunan IPM terbesar adalah Kabupaten Nduga dengan rata-rata pertumbuhan IPM 1,32 per tahun. Di bawahnya terdapat Kabupaten Pegunungan Bintang (1,08), Kabupaten Mamberamo Raya (0,98). Ketiga wilayah tersebut berada di Provinsi Papua. 

Di tingkat kota, wilayah dengan rata-rata pertumbuhan tahunan IPM terbesar adalah Kota Tidore Kepulauan (Aceh) dengan rata-rata pertumbuhan IPM sebesar 0,84 per tahun. Diikuti Kota Batu (Jatim) dan Kota Sabang (Aceh) dengan rata-rata pertumbuhan 0,81 per tahun. 

Sebaliknya, sebelum pandemi, wilayah kabupaten yang mencatatkan rata-rata pertumbuhan terendah adalah Kabupaten Bengkulu Utara (Bengkulu) dengan rata-rata pertumbuhan 0,34 per tahun. Diikuti dengan Kabupaten Gunung Mas (Kalteng) 0,35 per tahun, kemudian Kabupaten Murung Raya (Kalteng) 0,36 per tahun. 

Di tingkat kota, wilayah dengan rata-rata pertumbuhan IPM terendah adalah Kota Tanjung Pinang (Kepri) dengan rata-rata pertumbuhan IPM sebesar 0,29 per tahun. Diikuti Kota Cilegon (Jabar) dan Kota Prabumulih (Sumsel) dengan masing-masing rata-rata pertumbuhan sebesar 0,30 per tahun.

 
Peringkat Pertumbuhan IPM Kabupaten dan Kota Selama pandemi 2020 
Di sisi lain, terdapat beberapa daerah yang mencatatkan pertumbuhan IPM yang positif selama pandemi Covid-19. Periode selama pandemi yang dimaksud adalah 2019-2020. 

Di tingkat kabupaten, Kabupaten Nduga di Papua mencatatkan pertumbuhan IPM terbesar, yakni 0,8 pada 2019-2020. Selanjutnya, terdapat Kabupaten Sampang (Jatim) dengan pertumbuhan sebesar 0,76, diikuti Kabupaten Bukukumba (Sulsel) dengan pertumbuhan sebesar 0,71. 

Pertumbuhan IPM tertinggi di wilayah kota pada periode yang sama dicapai oleh Kota Baubau (Sulteng) dengan pertumbuhan 0,69. Diikuti Kota Kendari (Sulteng) dengan pertumbuhan 0,67 dan Kota Sorong (Papua Barat) dengan pertumbuhan 0,47. 

Di sisi lain, pertumbuhan IPM terendah selama pandemi di wilayah kabupaten dialami oleh Kabupaten Tana Tidung (Kaltara) dengan pertumbuhan -0,82. Di posisi selanjutnya terdapat Kabupaten Deiyai (Papua) dengan pertumbuhan -0,65 serta Kabupaten Dogiyai (Papua) dengan pertumbuhan -0,57.

 
Peringkat perubahan pertumbuhan (terdampak Covid-19) 
Dari sisi pertumbuhan, manakah daerah yang paling terdampak pandemi Covid-19 dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi? 

Di tingkat Kabupaten, terdapat Kabupaten Tana Tidung di Provinsi Kalimantan Utara dengan interval perubahan pertumbuhan setelah dan sebelum pandemi sebesar 1,54. Di posisi selanjutnya terdapat Kabupaten Mamberamo Raya (Papua) dengan interval perubahan 1,40 diikuti Kabupaten Nunukan (Kaltara) dengan interval perubahan 1,27. 

Di wilayah kota, Kota Tidore Kepulauan (Maluku Utara) mencatatkan interval perubahan pertumbuhan terbesar, yakni 1,15, diikuti Kota Pagar Alam (Sumsel) dengan 0,90, kemudian Kota Kotamobagu (Sulawesi Utara) dengan interval perubahan 0,88. 

Sebaliknya, interval perubahan pertumbuhan di wilayah kabupaten terendah dicatatkan oleh Kabupaten Asahan (Sumut) dengan interval 0,01, diikuti Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Sulsel) dengan interval 0,02. Di posisi selanjutnya terdapat Kabupaten Bulukumba (Sulsel), Kabupaten Buton Selatan (Sulteng) dan Kabupaten Probolinggo (Jatim) dengan masing-masing interval 0,03. 

Di wilayah kota, interval perubahan pertumbuhan terendah dialami oleh Kota Metro (Lampung) dengan interval 0 artinya tak ada perubahan. Diikuti Kota Sorong (Papua Barat) dengan interval 0,05 dan Kota Surakarta (Jateng) dengan interval 0,08. 

Dengan demikian, pertumbuhan IPM yang paling terdampak pandemi adalah Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Mamberamo Raya dan Kabupaten Nunukan. Sebaliknya, daerah dengan pertumbuhan IPM paling tidak terdampak pandemi adalah Kota Metro, Kabupaten Asahan, dan Kabuapten Pangkajene dan Kepulauan. (LITBANG KOMPAS)

Komentar